Hustle Culture: Anak Muda, Pekerjaan, dan Gengsi

 

Bagi anak muda kebanyakan, mungkin hidup untuk bekerja telah menjadi motto hidup mereka. Alih-alih pekerjaan digunakan untuk menghidupi kehidupan, malah justru seluruh kehidupan dihabiskan untuk bekerja. Bagi sebagian dari kita, menjalani hari-hari yang konstan adalah bagian dari rutinitas. Demi mengejar gelar produktif, kita rela bekerja 40 jam bahkan lebih dalam seminggu.

Di beberapa kalangan, tampaknya selalu berusaha lebih keras dalam karier dirayakan sebagai jalan yang heroik meskipun ada efek negatif drastis dari kerja berlebihan terhadap kesehatan mental, fisik, dan emosional. Kebiasaan hidup untuk bekerja atau yang belakangan akrab kita sebut sebagai hustle culture ini memang ramai diadopsi sebagai gaya hidup baru bagi para pekerja millennial.

Kepopulerannya tentu saja dihiasi pula oleh para CEO dan motivator bisnis yang memang mengamini dan mengapresiasi gaya hidup ini. Tentu saja, karyawan yang giat bekerja akan sangat menguntungkan bagi mereka. Ditambah lagi, salah satu orang terkaya di dunia yang juga merupakan ayah dari mobil listrik Tesla, Elon Musk juga pernah ikut bercuit di akun Twitternya, "Tidak ada yang pernah mengubah dunia dalam 40 jam seminggu," katanya. Seolah mendorong kita agar bekerja lebih giat dan lebih keras agar bisa “mengubah dunia”.

Tidak hanya itu, di beberapa perusahaan, para karyawan bahkan berpura-pura bekerja 80 jam seminggu untuk dipuji sebagai "bintang" dan "pahlawan super" oleh manajemen. Sementara itu, pria yang secara terbuka meminta mundur dari beban kerja yang berat ditolak promosi dan dipinggirkan di antara rekan-rekan mereka.

Menurut Joe Ryle, Direktur 4 Week Campaign, Pada dasarnya, hustle culture adalah tentang pekerjaan yang mendominasi waktu Anda dengan cara yang tidak wajar sehingga kita tidak punya waktu untuk menjalani hidup kita. Artinya: Ini adalah gaya hidup di mana karier telah menjadi prioritas dalam hidup sehingga aspek lain dari manusia — seperti hobi, waktu keluarga, dan perawatan diri — sering kali diremehkan.

Saat ini, budaya ini sangat umum karena pekerjaan tampaknya menyita lebih banyak waktu orang di seluruh dunia. Menurut survei tahun 2021 yang diterbitkan oleh ADP Research Institute, 1 dari 10 karyawan yang disurvei di 17 negara mengatakan bahwa mereka telah melakukan lebih dari 20 jam kerja gratis per minggu, sementara pekerja rata-rata mencatat 9,2 jam lembur yang tidak dibayar. mingguan, dibandingkan dengan 7,3 jam pada tahun 2020. Para ahli dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklaim bahwa peningkatan kerja berlebihan juga kemungkinan disebabkan oleh kebangkitan ekonomi pertunjukan dan teleworking dengan batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi yang semakin kabur.

Menurut Economic Policy Institute, sekarang orang-orang masuk berjam-jam dan melakukan pekerjaan sampingan karena berbagai alasan — sayangnya, banyak dari kita (terutama wanita) harus bekerja lebih banyak untuk mendapatkan jumlah uang yang sama dengan kakek-nenek kita,

Kebanyakan penganut  hustle culture meyakini bahwa lebih sibuk selalu sama dengan lebih baik, dan kesibukan yang terus-menerus akan selalu menghasilkan lebih banyak uang, prestise, kebahagiaan, dan harga diri yang tinggi. Mereka terus bekerja dan bekerja bukan hanya demi uang, tapi juga demi apresiasi dan prestise sosial. Dengan kata lain, alasan mereka bekerja adalah juga demi mengenyangkan ego semata

Giat bekerja memang baik, namun terlalu giat juga bukan hal yang baik. Budaya Hustle Culture hadir bukan tanpa dampak, di dalamnya terdapat banyak resiko serius yang harus dihadapi masyarakat penganut hustle culture baik dari segi kesehatan, psikologis, bahkan dalam kehidupan sosial.

Secara psikologis, seseorang yang menganut hustle culture merasa berkewajiban untuk mengatakan "ya" untuk mengambil semua tugas, berada di semua komite, dan menghadiri semua pertemuan untuk menghindari dihakimi atau kehilangan pekerjaan. Mereka akan terus menerus menenggelamkan diri mereka kepada produktivitas yang beracun dan menyelimutinya dengan kata-kata penyemangat semu bahwa ini semua adalah demi hidup yang lebih baik.

Beban kerja yang berat seperti ini akan mengantarkan kita pada kondisi bunout, yaitu suatu kondisi dimana ketika sesorang mencapai kelelahan mental dan emosional sehingga rasanya seperti tidak dapat menambahkan apa pun ke piring dan mungkin tidak memiliki motivasi seperti yang dilakukan sebelumnya, Terus-menerus tetap sibuk juga dapat memiliki efek serius pada tubuh Anda. Penelitian telah menunjukkan bahwa bekerja berjam-jam dapat meningkatkan risiko tekanan darah tinggi, serangan jantung dan bahkan stroke.

Pada akhirnya, hidup bisa menjadi lebih dari sekadar pekerjaan. Meski kerja keras pasti bisa menuai keuntungan, kita masih bisa memberi lebih banyak ruang untuk menghargai hal-hal kecil yang membuat kita merasa terpenuhi.

Comments

Popular Posts