Tahura Pancoran Mas, Hutan Kota Zaman Hindia Belanda yang Tinggal Kenangan
Depok menjadi kota yang menyangga ibu kota negara hal ini karena
berbatasan langsung dengan wilayah DKI Jakarta. Daerah yang dahulunya kawasan
tanah partikelir Belanda ini berkembang menjadi daerah urban, sentra industri,
kawasan perdagangan hingga pendidikan. Hal ini memang berubah jauh kalau
melihat sejarah Depok yang dahulunya dicanangkan menjadi kawasan taman kota.
Bahkan pada zamannya, kota ini telah terkenal menjadi kawasan cagar alam
pertama di Hindia Belanda.
Pencanangan Depok sebagai kawasan taman kota digagas oleh Herman van
Breen tokoh sentral melawan banjir dari Technische Hoogeschool Bandung.
Pasalnya begitu sukarnya penanganan banjir Kota Batavia akibat perusakan
lingkungan di sekitar puncak untuk perkebunan teh.
Cornelis Chastelein tuan tanah di daerah Depok memang telah membangun
kota ini sebagai daerah hijau. Karena itu gagasan wilayah hijau di pinggiran
Jakarta Selatan itu bukan hanya angan-angan semata. Saat itu Chastelein telah
mewujudkan gagasan tentang daerah hijau, seperti penentuan kawasan Ratu Jaya,
Rawa Geni hingga Mampang yang di timurnya berbatasan dengan Parung Belimbing
sebagai hutan Depok.
Chastelein memang sosok yang mencintai lingkungan, dirinya mengkritik
keras ketika hutan-hutan di daerah sekitar Batavia dibabat dan dijadikan kebun
tebu untuk industri gula Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Dirinya
paham pembabatan hutan akan merusak keseimbangan vegetasi tropis. Sepeninggalnya,
warisan dari Chastelein masih bisa dinikmati oleh masyarakat. Sampai hampir dua
abad hutan kota Depok masih sangat memukau.
Cagar alam Depok telah ditetapkan sejak era Hindia Belanda. Kawasan yang
sekarang terkenal dengan nama Taman Hutan Raya (Tahura) ini berada di Kelurahan
Depok, Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok. Hutan ini dahulunya memiliki luas
hingga 150 hektare, merupakan peninggalan pada abad ke 17. Tetapi kemudian
terus menyusut akibat perubahan fungsi menjadi lahan pertanian, hingga hanya
tersisa 7,1 hektare.
Khawatir terus menyusut, pada 31 Maret 1912, Nederlands Indische
Vereniging Tot Natuur Berscherming atau Perhimpunan Perlindungan Hutan Alam
Hindia Belanda bekerja sama dengan kota praja (Gemeente) Depok menetapkannya
sebagai cagar alam (natuur reservaat). Bahkan hal ini konon disampaikan Prof.
Dr O Porsch di Wina, Austria sebagai kawasan cagar alam pertama di Hindia
Belanda.
Berbeda dengan pembangunan Kebun Raya Bogor di Buitenzorg (Bogor) yang
dimaksudkan untuk menghutankan kembali dengan mengumpulkan pohon langka
(forest). Cagar Alam Depok sendiri justru ditetapkan untuk tetap mempertahankan
keasliannya sebagai asli hutan belantara (jungle).
Namun memasuki tahun 1990-an, melalui SK Menteri Kehutanan dan
Perkebunan Nomor 276/Kpts-II/1999 tanggal 7 Mei 1999, Cagar Alam Pancoran Mas
Depok kemudian menjadi Tahura. Hal ini karena turun kualitasnya sebagai wilayah
konservasi.
Tahura Pancoran Mas menjadi bagian dari ruang terbuka hijau (RTH) atau
hutan kota yang berfungsi untuk menekan pencemaran udara, perubahan iklim, dan
penampung cadangan air bersih. Pengelolaan ini juga berfungsi untuk pelestarian
berbagai macam flora dan fauna, baik endemik tahura atau bukan endemik.
Dahulunya terdapat banyak pepohonan rindang dan menjulang tinggi,
merupakan habitat yang nyaman bagi berbagai jenis burung. Sementara di dalam
semak belukar menjadi habitat bermacam sarangga, berbagai hewan seperti kijang,
harimau Jawa, monyet, kancil, rusa, bangau putih, dan kelinci hutan.
Di samping itu, Tahura dimanfaatkan bagi kepentingan umum sebagai tujuan
penelitian, ilmu pengetahuan, dan pendidikan. Selain juga, untuk tujuan budaya,
pariwisata, dan rekreasi.
Namun semua kekayaan hayati tersebut hanya tinggal kenangan masa lampau.
Hingga tahun 2000 di hutan ini masih ditemukan monyet, biawak dan ular. Kini,
yang tersisa hanya hewan melata serta sejumlah jenis burung. Keadaannya sudah
tak ada bedanya dengan sebuah lahan yang dengan mudah disulap menjadi hutan
beton.
Begitu pesatnya pembangunan di Depok, beserta bertambahnya
permukiman-permukiman baru. Membuat kawasan hutan hijau warisan Chastelein itu
mengalami penyempitan lahan. Kekayaan keanekaragaman hayati yang menjadi
mahkotanya, kini telah jauh berkurang. Tidak ada lagi kawasan pepohonan yang
rindang dan menjulang tinggi sebagai ciri khas hutan dataran rendah Pulau Jawa
bagian barat.
Berdasarkan catatan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Tahura Pancoran
Mas, saat ini kawasan konservasi di tengah kota itu hanya menyisakan 83 spesies
dan 43 famili flora. Di antaranya, 27 jenis pohon sepeti meranti, waru, jambu,
keluih, dan laban. Ada juga 30 jenis tumbuhan bawah seperti rotan, pakis hutan,
dan rumput gajah serta empat jenis liana, yaitu seserehan, rarambatan, gadung,
dan cipatuheur. Begitu pula dengan koleksi satwa yang tersisa saat ini adalah
spesies ular seperti sanca, kobra, ular pucuk dahan kepala merah, serta kucing
hutan, musang, dan biawak. Kita juga masih bisa menemukan jenis katak pohon dan
katak terbang serta beberapa spesies burung belukar seperti jogjog, ciblek,
cincuing, kipasan, dan perenjak.
Perubahan statusnya menjadi Tahura belum serta-merta mengubah perilaku
masyarakat sekitarnya untuk ikut menjaga kelestarian hutan kota ini. Lokasi
yang dikepung permukiman padat penduduk seperti sekarang ini membuat pengelola
sulit melakukan pengawasan.
Comments
Post a Comment